Kumpulan Informasi Hukum

Sistem Peradilan Common Law

Hai Pembaca Setia, Kali ini Tabir Hukum akan membahas mengenai bagaimana sistem peradilan Common Law.


Pada sistem Peradilan Common Law ini, menganut sistem peradilan juri, yang di mana hakim bertindak sebagai pejabat yang memeriksa dan memutuskan hukumnya, sementara juri memeriksa peristiwa atau kasusnya kemudian menentukan bersalah-tidaknya terdakwa atau pihak yang berperkara. Dalam hal ini hakim diikat oleh suatu asas stare decisis (the binding force of precedant). Artinya, putusan hakim terdahulu mengikat hakim-hakim lain untuk mengikutinya pada perkara yang sejenis. Sistem peradilan juri ini sebagai manifestasi dari pemikiran lama yang mengatakan bahwa peradilan merupakan tugas dan tanggung jawab rakyat.

Hakim pada negara yang menganut sistem hukum Anglo Sakson (Common Law), metode berpikirnya menggunakan metode induktif, yaitu proses berpikir dari yang khusus ke umum. Mereka mendasarkan putusan yang diambil pada kasus in-konkreto (aturan khusus) yang berlaku sebagai preseden bagi hakim lainnya pada perkara yang serupa.

Menurut Curzon, esensi dari asas the binding of precedent bagi hakim ini mengakibatkan hakim akan mampu lebih cepat dalam mengambil keputusan dan merapkan suatu aturan hukum yang layak bagi putusannya. Asas ini merupakan kewajiban primer bagi hakim, yaitu kewajiban tradisional hakim untuk memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara dengan mencairkan aturan hukum yang relevan melalui binding precedent.

Penggunaan asas preseden yaitu untuk mempercepat putusan hakim sebab dasar untuk memutuskan suatu perkara yang sama telah ada sebelumnya. Metode yang digunakan di dalam menilai fakta kasus ini yaitu analogi yang membandingkan antara peristiwa-peristiwa yang sejenis, atau mempersamakan suatu peristiwa yang sejenis. Preseden ini berbentuk sebagai suatu lembaga, yaitu terdiri dari sebagian besar hukum yang tidak tertulis (ius non scriptum) melalui putusan-putusan hakim.

Namun, hasil karya hakim ini hanya diakui jika yang dihasilkan dari suatu proses peradilan. Artinya, hanya karya yang berbentu putusan pengadilan yang diakui sebagai hukum saa, sedangkan pernyataan-pernyataan hakim di luar jabatannya sebagai hakim tidak berlaku menjadi peraturan hukum yang mengikat.

Menurut Rusli Effendy, Pernyataan hakim yang tertuang di dalam pemeriksaan dan putusannya, juga dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu :

1. Ratio decidendi, yaitu faktor determinan di dalam suatu putusan hakim dalam arti sebenarnya, yang di mana bersifat menentukan sebagai inti dari suatu kasus hukum. Contohnya, suatu tabrakan yang di mana pengemudinya memakai baju warna putih, bersepatu hitam, tidak memiliki SIM, mengendarai kendaraannya dengan kecepatan 100 Km per jam. Faktor esensial yang bersifat juridis di sini hanyalah : tidak memiliki SIM dan mengendarai dengan kecepatan 100 Km per jam yang dilarang oleh hukum. Itulah yang disebut dengan ratio decidendi.

2. Obiter dicta, yaitu sesuatu yang memiliki nilai tersendiri di dalam keseluruhan proses pengadilan yang sedang berjalan, namun tidak langsung berkaitan dengan persoalan yang dihadapi oleh para pihak yang berperkara. Contohnya, Si Arul sebagai penabrak, baru saja kembali dari rumah sakit menjenguk putranya yang sakit kera. Secara tidak langsung, kecelakaan lalu lintas di mana Si Arul menabral Si Beni sebetulnya karena keruwetan pikirannya memikirkan anaknya yang sedang sakit.

Mencermati contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa kelalaian si Arul hanya obiter dicta yang tidak berkaitan langsung berhubungan dengan kasus, dan yang menjadi ratio decidendi adalah kemungkinan remnya yang tidak berfungsi, atau kecepatan kendaraan yang tinggi.

Penggunaan juri di dalam sistem peradilan Common Law, berlaku baik itu pada perkara pidana maupun pada perkara perdata. Juri dipilih dari komunitas warga masyarakat (tokoh-tokoh masyarakat setempat), bukan ahli hukum atau sarjana hukum. Sebelum bertugas sebagai juri, terlebih dahulu diambil sumpahnya dan dipastikan akan berlaku objektif. Jumlah juri genap dan umumnya 8 atau 12 orang di dalam satu persidangan.

Keberhasilan pelaksanaan peradilan dengan asas the binding force of precedent pada negara Anglo Sakson, juga bergantung pada keberadaan dari hierarkis lembaga peradilannya. Bahkan, yang penting juga yaitu sistem informasinya untuk mengetahui daftar putusan kasus kasus terdahulu melalui komputerisasi. Selain itu, bergantung juga pada kemampuan legislatifnya untuk melakukan pembaruan peraturan perundang-undangan

Tujuan yang esensial dari asas preseden pada sistem peradilan yang menggunakan juri, yaitu untuk mewujudkan hakikat (kepastian hukum) sebagai salah satu tujuan hukum sekaligus mengimplementasikan aspek fleksibilitas dan kecermatan. Keterikatan hakim lain pada putusan hakim sebelumnya di dalam perkara sejenis, tentunya hanya pada bagian yang "ratio decident", yaitu faktor determinan di dalam suatu putusan hakim yang sifatnya menentukan sebagai inti dari suatu kasus hukum.

Sistem peradilan Common Law ini juga mengandung kelemahannya, antara lain keharusan melakukan konsultasi bagi hakim dan juri yang bisa menimbulkan penilaian negatif, serta kemungkinan data yang tidak akurat pada jumlah kasus yang banyak. Di sinilah dituntut kemampuan maksimal seorang hakim di dalam mempersamakan (analog) suatu kasus dengan kasus lain yang sejenis.

Sekian tulisan dari tabir hukum mengenai bagaimana sistem peradilan Common Law, semoga tulisan tabir hukum mengenai bagaimana sistem peradilan Common Law dapat bermanfaat.

Sumber : Tulisan Tabir Hukum :

- Marwan Mas, 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Yang Menerbitkan Ghalia Indonesia : Bogor.
Gambar Artikel Bagaimana Sistem Peradilan Common Law ?