Hai Pembaca Setia, Kali ini Tabir Hukum akan membahas mengenai unsur unsur hukum perikatan.
Menurut Salim HS, pada suatu perikatan terdapat beberapa unsur pokok, antara lain : (1) adanya kaidah hukum; (2) adanya subjek hukum; (3) adanya prestasi (objek perikatan); dan (4) dalam bidang tertentu.
Kaidah hukum perikatan meliputi : (1) kaidah hukum tertulis yaitu kaidah hukum yang terdapat di dalam UU, traktat dan yurisprudensi; (2) kaidah hukum tidak tertulis, yaitu kaidah yang timbul, tumbuh dan hidup di dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan), contohnya seperti transaksi gadai, jual tahunan atau jual lepas.
Subjek hukum di dalam hukum perikatan terdiri dari : (1) kreditur, yaitu orang (badan hukum) yang berhak atas prestasi; (2) debitur yaitu orang (badan hukum) yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Prestasi, yaitu apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi terdiri dari : (1) memberikan (berbuat atau tidak berbuat) sesuatu; (2) dapat ditentukan; (3) mungkin dan diperkenankan; (4) dapat terdiri dari satu perbuatan saja atau terus-menerus. Bidang yang dimaksud yaitu bidang harta kekayaan, yaitu menyangkut hak dan kewajiban yang dapat dinilai uang. Suatu harta kekayaan dapat berwujud atau tidak berwujud.
Adapun Menurut Mariam Darus Badrulzaman, Unsur-unsur perikatan ini meliputi : (1) hubungan hukum; (2) kekayaan; (3) pihak-pihak; dan (4) prestasi.
1. HUBUNGAN HUKUM
Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum meletakkan 'hak' pada 1 (satu) pihak dan melekatkan 'kewajiban' pada pihak lainnya. Jika satu pihak tidak mengindahkan atau melanggar hubungan tersebut, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali. Selanjutnya, jika satu pihak memenuhi kewajiban, maka hukum 'memaksakan' agar kewajiban tadi dipenuhi.
Contohnya : A berjanji menjual sepeda motor kepada C, ini merupakan hubungan hukum. Akibat janji itu, A wajib untuk menyerahkan sepeda motor miliknya kepada C dan berhak menuntut harganya, sedangkan C wajib menyerahkan harga sepeda motor itu dan berhak untuk menuntut penyerahan sepeda motor.
Kenyataan tidak semua hubungan hukum dapat disebut sebagai perikatan. Suatu janji untuk bersama-sama pergi tamasya, tidak memiliki arti hukum. Janji demikian termasuk di dalam lapangan moral, yang di mana tidak dipenuhinya prestasi akan menimbulkan reaksi dari anggota-anggota masyarakat lainnya. Jadi pelaksanaannya bersifat otonom dan sosiologis.
2. KEKAYAAN
Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum memiliki ukuran-ukuran (kriteria) tertentu. Yang dimaksud kriteria perikatan adalah ukuran-ukuran yang digunakan terhadap sesuatu hubungan hukum, sehingga hubungan hukum tersebut dapat disebutkan suatu perikatan. Di dalam perkembangan sejarah, apa yang dipakai sebaga kriteria tersebut tidak dapat dinilai dengan uang atau tidak. Jika hubungan hukum tersebut dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum itu merupakan suatu perikatan.
Kenyataan kriteria tersebut sangat susah untuk dipertahankan, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi, jika terhadapnya tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi. Dan ini bertentangan dengan salah satu tujuan dari pada hukum yaitu pencapaian keadilan. Sekarang, kriteria tersebut di atas itu tidak lagi dipertahankan sebagai kriteria, maka sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, akan tetapi kalau masyarakat atau rasa keadian menghendaki agar suatu hubungan tersebut diberi akibat hukum, maka hubungan hukum akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.
3. PIHAK-PIHAK
Para pihak pada suatu perikatan disebut dengan subjek perikatan. Jika hubungan hukum pada suatu perikatan dijajaki, maka hubungan hukum tersebut harus terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih. Pertama, pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif atau pihak yang berpiutang yaitu kreditur. Kedua, pihak yang berkewajiban memenuhi atas prestasi, pihak yang pasif atau yang berhutang disebut debitur.
Di dalam perikatan pihak-pihak kreditur dan debitur dapat diganti. Penggantian debitur harus diketahui atau atas persetujuan kreditur, sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak. Bahkan hal-hal tertentu, pada saat suatu perikatan itu lahir di antara pihak-pihak, secara apriori disetujui hakikat penggantian kreditur itu.
Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus 1 (satu) orang kreditur dan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang debitur. Hal ini tidak menutup kemungkinan di dalam suatu perikatan itu terdapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang debitur.
4. PRESTASI
Dalam Pasal 1234 KUH Perdata, dinyatakan bahwa tiap-tiap perikatan ialah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Berdasarkan ketentuan ini, maka prestasi itu dapat dibedakan atas : (a) memberikan sesuatu; (b) berbuat sesuatu; dan (3) tidak berbuat sesuatu.
Dalam perikatan, untuk memberikan sesuatu termasuk pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai (menyewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan benda bergerak. Perikatan untuk melakukan sesuatu, contohnya membangun ruko. Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, contohnya X membuat perjanjian dengan Y ketika menjual butiknya, untuk tidak menjalankan usaha butik di dalam daerah yang sama.
Menurut Hukum Islam, bahwa yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu akad yaitu dua unsur, yaitu ijab dan qabul. Artinya hanya karena ijab saja atau hanya karena qabul saja, akad tidak akan penah terwujud. Sementara hal lainnya (contohnya subjek dan objek akad) ini merupakan konsekuensi logis dari terwujudnya suatu ijab atau qabul, bukan rukun yang berdiri sendiri menjadi sebab terwujudnya akad itu.
Berbeda dengan hal itu, menurut Jumhur, kebanyakan ulama selain mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun akd ada 5 (lima), hal ini untuk sempurnanya akad dan dipandang sah sebagai peristiwa hukum. kelima rukun akad tersebut antara lain :
(1) 'Aqidun atau pelaku akad, baik hanya seorang atau sejumlah tertentu, sepihak atau beberap pihak.
(2) Mahallul 'aqdi atau ma'qud 'alaih, yaitu benda yang menjadi objek. Contohnya : barang di dalam jual beli.
(3) Maudu'ul 'aqdi, yaitu tujuan atau maksud pokok dari adanya akad.
(4) Sigatul aqdi (Ijab), yaitu perkataan yang menunjukkan kehendak mengenai akad diungkapkan.
(5) Qabul, yaitu perkataan yang menunjukkan persetujuan terhadap kehendak akad diungkapkan sebagai jawaban ijab.
Adapun untuk sahnya persetujuan-persetujuan perikatan diperlukan 4 (empat) syarat, antara lain :
(1) Adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (toesteming).
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
(3) Adanya objek atau suatu hal tertentu di dalam perjanjian (onderwerp der overeenskomst).
(4) Adanya suatu sebab (causa) yang halal (geoorloofdeoorzaak).
Tidak jauh berbeda dengan ketentuan tersebut, Menurut M Hasbi Ash-Shiddieqy syarat umum yang harus terdapat di dalam segala macam syarat yang meliputi :
(1) Ahliyatul 'aqidaini, yaitu ke dua belah cakap (layak) berbuat.
(2) Qabiliyyatu mahallil 'aqdili hukmihi', yaitu yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
(3) Al-Wilayatusy sya'iyyah fi maudi'ih, yaitu dilakukan oleh orang yang memilki hak melakukannya, walaupun dia bukan si aqidun sendiri.
(4) An Layakunal 'aqdu au maudu'uhu mamnu'an bi nassisysyar'I, yaitu janganlah akad itu yang dilarang syara'.
(5) Kaunul-'aq di mufi, yaitu akad itu memberi manfaat.
(6) Baqa'ul-ijab salihan ila wuqu'il-qabul, yaitu ijab itu akan terus (tidak dicabut) sebelum terjadi qabul.
(7) Ittihadu majlisil-'aqdi, yaitu bersatunya majelis akad.
Sekian tulisan dari tabir hukum mengenai unsur unsur hukum perikatan, semoga tulisan tabir hukum mengenai unsur unsur hukum perikatan dapat bermanfaat.
Sumber : Tulisan Tabir Hukum :
- Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar Hukum Perdata. Yang Menerbitkan Prestasi Pustaka : Jakarta.
Gambar Unsur Unsur Hukum Perikatan |