Hai Pembaca Setia, Kali ini Tabir Hukum akan membahas mengenai sejarah penemuan hukum terjadi.
Keberadaan hukum tertulis atau perundang-undangan di dalam kenyataannya selalu tertinggal dari dinamika dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Bagi kaum yang menganut paham dogmatik, mereka melihat hukum sebagai peraturan tertulis menganggap bahwa hakim ini hanya bertugas untuk menghubungkan antara fakta konkret dengan ketentuan undang-undang.
Selain undang-undang, maka berarti bahwa bukan hukum. Untuk mengantisipasi perkembangan dan perubahan masyarakat yang semakin pesat, maka undang-undang dengan sejumlah kelebihan dan kelemahannya seperti sifatnya yang statis, kaku dan lamban mengikuti dinamika masyarakat harus dilengkapi dengan penemuan hukum oleh hakim untuk mengantisipasi kelemahannya. Namun, pemakaian istilah penemuan hukum itu sendiri belum disepakati oleh para ahli hukum. Ada ahli yang memilih istilah "pembentukan hukum" dengan kata asumsi bahwa hakim tidak hanya menemukan hukum, tetapi juga membentuk hukum melalui putusannya yang disebut dengan "judge made law".
Penggunaan istilah penggunaan istilah penemuan hukum ini memang mengandung arti luas, karena selain pembentukan hukum, hukum juga sebenarnya telah ada dan tinggal ditemukan. Hasil dari penemuan hukum ini merupakan suatu proses pencarian hukum, baik itu yang telah ada tetapi kurang jelas maupun yang belum diatur oleh undang-undang, kemudian dikonkretkan melalui putusan hakim. Selain itu, istilah penemuan hukum sebetulnya lebih menunjukkan pada proses yang dilalui hakim sebelum menjatuhkan putusannya.
Awal kelahiran konsep Penemuan Hukum oleh hakim ini selain karena kelemahan undang-undang, juga karena adanya asas "ius curia novit", yaitu hakim dianggap mengetahui hukum. Konsekuensi dari asas tersebut yaitu hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada aturannya. Asas hukum tersebut dijabarkan melalui Pasal 27 angka (1) UU No. 14 Tahun 1970 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian jika suatu perkara kemungkinan tidak jelas aturannya, maka hakim tetap wajib untuk memeriksa dan memutus perkara dengan menemukan hukumnya.
Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim ini selain menafsirkan ketentuan undang-undang, juga bertujuan untuk menutupi kelemahan undang-undang. Kelemahan dan ketertinggalan hukum di dalam sejarah hukum, terutama pada pengkodifikasian hukum dan kaitannya dengan penemuan hukum. Dalam kepustakaan ilmu hukum tercatat tiga fase, yaitu sebagai berikut.
1. Fase Sebelum Tahun 1800
Pada fase tahun 1800 sama sekali belum terdapat hukum tertulis di dalam bentuk undang-undang atau kaidah hukum yang mengatur masyarakat. Katika itu sebagian besar hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan ini ternyata kurang menjamin kepastian hukum. Pada fase ini, pembuat dan pelaksana hukum berada pada satu orang, yaitu raja. Apa yang diucapkan oleh raja itulah hukum. Siapa saja yang melanggar hukum (ucapan dari raja), maka raja sendirilah yang menghukumnya.
Fase ini biasa disebut dengan "pra-kodifikasi" dan hakim pada fase ini belum ada karena raja sekaligus bertindak sebagai hakim. Dengan demikian, belum ada penemuan hukum dari hakim, yang di mana hukum tidak tertulis menjadi pedoman di dalam mengatur tata kehidupan masyarakat. Sumber-sumber hukum pada fase pertama ini, tidak lain hanya berupa hukum tidak tertulis.
2. Fase Pertengahan Abad Ke 18
Pada fase ini sudah mulai dikenalnya hukum tertulis yang dimotivasi oleh lahirnya teori yang dikemukakan oleh Montesquieu dengan teorinya trias politica mengenai pemisahan kekuasaan. Teori ini mengatakan bahwa terdapat tiga paham kekuasaan negara yang harus dipisahkan yaitu :
(a) kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat atau menciptakan undang-undang.
(b) kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang tersebut.
(c) kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Atas dasar teori Montesquieu, kemudian timbul suatu pemikiran untuk membuat kodifikasi hukum, yaitu pembentukan hukum tertulis secara sistematis, lengkap dan jelas. Timbulnya kodifikasi hukum ini melahirkan juga aliran legisme yang menyatakan bahwa hanya undang-undang (hukum tertulis) saja yang disebut hukum, dan hakim tidak menciptakan hukum. Aliran legisme ini tidak mengakui adanya hukum tidak tertulis karena hukum tertulis itu datang dari penguasa negara tertinggi yang dianggap sudah lengkap, sehingga tidak perlu lagi ada ketentuan lain. Hakim di sini memang sudah ada, namun kedudukannya hanya sebagai pelaksana undang-undang atau terompet undang-undang. Apa yang tertulis di dalam undang-undang, hanya itulah yang akan dilaksanakan.
Pada tahun 1850 di Jerman, orang mulai sadar dan menghendaki peranan yang mandiri di dalam pembentukan hukum oleh hakim. Hakim diharapkan tidak lagi menjadi corong undang-undang, akan tetapi membentuk hukum yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan hukum, yang di mana hakim harus dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri. Hakim di sini dianggap menjalankan fungsi yang mandiri di dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa konkret. Pada fase ini penemuan hukum oleh hakim mulai dilakukan, hakim diberi otonom melakukan penemuan hukum, tetapi hakim belum bebas untuk menggunakan metode penafsiran secara luas.
3. Fase Abad Ke 19 (awal abad ke 19)
Sejak awal abad ke 19, timbul pemikiran baru sebagai hasil dari perenungan bahwa kodifikasi hukum itu belum lengkap, karena hukum (undang-undang) semakin tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa untuk mengantisipasi ketertinggalan undang-undang yang dikodifikasi ini, diawali dengan lahirnya dua aliran di Jerman yang lebih lunak dari aliran legisme, yaitu mazhab historis yang dipelopori oleh Von Savigny dan mazhab freirechtschule.
Pandangan mazhab historis mengatakan bahwa undang-undang itu tidak lengkap dan selain undang-undang masih ada sumber hukum lain, yaitu kebiasaan. Menurut Von Savigny, hukum harus berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar ditujukan pada setiap peristiwa dan dapa diterapkan kaidah yang cocok. Hakim memang bebas di dalam memberlakukan atau menerapkan undang-undang, namun ia tetap bergerak di dalam sistem hukum yang tertutup.
Berdasarkan perkembangan yang terjadi di negara Jerman pada tahun 1900, maka untuk mengantisipasi kodifikasi hukum yang dinilai kurang mampu mengikuti perkembangan masyarakat, maka lahirlah gagasan perlunya mengisi kekurangan undang-undang atau kekosongan hukum melalui perluasan penggunaan penemuan hukum oleh hakim. Pada fase ini hukum tidak tertulis kembali diakui dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Pada fase inilah metode penemuan hukum oleh hakim semakin diperluas, dan sumber-sumber hukum bukan hanya undang-undang melainkan juga hukum tidak tertulis.
Sekian tulisan dari tabir hukum mengenai sejarah penemuan hukum terjadi, semoga tulisan tabir hukum mengenai sejarah penemuan hukum terjadi dapat bermanfaat.
Sumber : Tulisan Tabir Hukum :
- Marwan Mas, 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Yang Menerbitkan Ghalia Indonesia : Bogor.