Hai Pembaca Setia, Kali ini Tabir Hukum akan membahas mengenai dasar hukum penemuan hukum di Indonesia.
Dasar penemuan hukum di Indonesia secara umum terdapat di dalam perundang-undangan, yaitu :
1. Asas curia novit, yaitu hakim dianggap mengetahui hukum, sehingga hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan peraturannya kurang jelas atau tidak ada peraturannya. Suatu peristiwa (perkara hukum) yang kemungkinan belum ada ketentuannya, atau peraturannya ada tetapi kurang jelas, hakim tetap wajib untuk melakukan pemeriksaan perkara tersebut sekaligus memutuskannya.
2. Pasal 27 angka (1) UU No. 14 Tahun 1970 mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Ketentuan ini menuntun hakim agar di dalam menjatuhkan putusannya wajib memperhatikan dan memaknai nilai nilai dari hukum, seperti perasaan hukum dan kesadaran hukum masyarakat di dalam menjatuhkan putusan.
3. Untuk mengisi kekosongan perundang-undangan atau hukum tertulis. Untuk itu suatu perkara yang tidak ada peraturannya, maka hakim tetap dituntut untuk memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dengan menggunakan metode analogi terhadap suatu peraturan yang sejenis dengan perkara yang diperiksa (khusus di dalam perkara perdata, sedangkan di dalam perkara pidana tidak dibenarkan menggunakan metode analogi).
Dasar dan alasan pemikiran untuk melakukan penemuan hukum oleh hakim ini, yaitu :
1. Karena peraturannya tidak ada, tetapi esensi perkara sama atau mirip dengan suatu peraturan lain yang dapat diterapkan pada kasus yang sedang berlangsung.
2. Peraturan memang ada, namun kurang jelas isinya sehingga hakim perlu untuk menafsirkan peraturan tersebut untuk diterapkan pada perkara yang ditangani.
3. Peraturannya juga ada, tetapi peraturan itu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, sehingga hakim wajib untuk menyesuaikannya dengan perkara yang sedang ia tangani.
Menurut Lawson dalam mencari makna suatu ketentuan yang dilakukan oleh hakim, dibedakan ke dalam tahap sebagai berikut.
1. Melihat kata-kata di dalam ketentuan tersebut, kemudian menyimpulkan peraturan tersebut secara keseluruhan. Jika ternyata kata-kata di dalam ketentuan itu tidak bermakna ganda dan sudah jelas, maka hakim tinggal menerapkannya.
2. Jika teks kata-kata di dalam peraturan itu bermakna ganda, tidak jelas atau tidak pasti, maka disini baru hakim dapat menggunakan bantuan eksternal.
Pitlo mengatakan bahwa penemuan hukum ini terbagi atas dua jenis, yaitu :
1. Penemuan hukum dalam arti sempit, yaitu semata-mata hanya kegiatan berpikir yang diisyaratkan karena tidak ada pegangan yang cukup di dalam undang-undang.
2. Penemuan hukum dalam arti luas yang mencakup interprestasi, yang dibedakan atas (1) kalangan yang berpikir legistis, yang melihat ketentuan undang-undang terlepas satu sama lain; (2) kalangan berpikir organis, yang mencari hubungan antara ketentuan-ketentuan itu.
Dalam proses pelaksanaan penemuan hukum, kepustakaan ilmu hukum menetukan bahwa hakim melakukan tugas dan menurut tiga tahapan yaitu :
1. Tahap Konstatir, yaitu hakim menyatakan benar terjadi peristiwa konkret. Pada tahap ini, hakim melakukan kegiatan konstatir yang bersifat logis atas fakta dan bukti-bukti yang terungkap di dalam persidangan. Untuk mengkonstatir suatu peristiwa konkret, maka peristiwa konkret tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Tanpa membuktikan peristiwanya, hakim tidak diperbolehkan untuk mengkonstatir atau menyatakan bahwa peristiwa konkret tersebut benar-benar telah terjadi. Dengan demikian, setelah peristiwa konkret dibuktikan, maka hakim dapat mengkonstatir atau menyatakan telah terjadi peristiwa yang dimaksud.
2. Tahap Kualifikasi, yaitu hakim mengkualifikasi peristiwanya, termasuk hubungan yang menyebabkan perbuatan atau peristiwa tersebut terjadi. Di sini hakim mengkualifikasi suatu perbuatan, apakah perbuatan tersebut melawan hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang atau tidak.
3. Tahap Konstituir, yaitu hakim menetapkan hukumnya terhadap peristiwa yang dperiksa. Pada tahap ini, hakim menggunakan "sillogisme", yaitu menarik kesimpulan premis mayor berupa penentuan peraturan hukum yang dilanggar, dan premis minor yaitu perbuatan yang melawan hukum.
Sekian tulisan dari tabir hukum mengenai dasar hukum penemuan hukum di Indonesia, semoga tulisan tabir hukum mengenai dasar hukum penemuan hukum di Indonesia dapat bermanfaat.
Sumber : Tulisan Tabir Hukum :
- Marwan Mas, 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Yang Menerbitkan Ghalia Indonesia : Bogor.