Hai Pembaca Setia, Kali ini Tabir Hukum akan membahas mengenai putusnya perkawinan dalam hukum.
Terdapat berbagai Pandangan Hukum mengenai putusnya perkawinan, antara lain :
1. Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Perdata
Menurut ketentuan di dalam Pasal 199 KUH Perdata, suatu perkawinan dapat bubar, jika :
(a) kematian, yaitu suami atau isteri telah meninggal dunia.
(b) ketidakhadiran di tempat oleh salah satu pihak selama 10 (sepuluh) tahun dan diikuti dengan perkawinan baru oleh suami atau isteri.
(c) keputusan hakim sesudah pisah meja dan tempat tidur yang didaftarkkan di daftar catatan sipil.
(d) perceraian.
Perceraian artinya diputuskannya perkawinan itu oleh hakim, karena sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab perceraian menurut Pasal 209 KUH Perdata, antara lain :
(a) zina.
(b) meninggalkan tempat tinggal (rumah bersama) dengan sengaja.
(c) hukuman selama lima tahun.
(d) penganiayaan yang dapat menyebabkan luka berat.
Perceraian ini baru sah, jika sudah diumumkan oleh pengadilan.
2. Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
Hukum islam memuat ketentuan mengenai putusnya perkawinan melalui perceraian, akan tetapi bukan berarti Agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan; dan perceraian juga tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Hanya di dalam keadaan yang tidak dapat dihindarkan itu saja baru perceraian di ijinkan di dalam agama.
Hukum islam mengatakan bahwa meskipun diperbolehkan oleh agama, akan tetapi pelaksanaannya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami isteri; jika cara-cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami isteri tersebut.
Berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW, maka para ulama dari keempat Mazhab Hukum Islam memberikan penjelasannya mengenai perceraian. Dalam "Syarah Al Kabir" disebutkan terdapat 5 (lima) kategori perceraian, antara lain :
(a) perceraian menjadi wajib di dalam kasus syiqaq.
(b) hukumnya maruh jika ia dapat dicegah. Kalu diperkirakan tidak akan membahayakan baik untuk pihak suami atau isteri, dan masih ada harapan untuk mendamaikannya.
(c) Ia menjadi mubah jika memang diperlukan, terutama jika isteri berakhlak buruk; dan dengan demikian kemungkinan akan membahayakan kelangsungan perkawinan tersebut.
(d) hukumnya mandub jika isteri tidak memenuhi kewajiban utama terhadap Allah yang telah diwajibkan atasnya atau kalu dia berbuat serong (berzinah).
(e) bersifat mahzur jika perceraian itu dilakukan pada saat-saat bulannya datang.
Menurut Ahmad Rofiq, setidaknya terdapat 4 (empat) kemungkinan yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga, yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutuskan perkawinan yaitu :
(a) terjadinya nusyuz dari pihak isteri.
(b) terjadinya nusyus dari pihak suami.
(c) terjadinya perselisihan (percekcokan) antara suami isteri (syiqaq).
(d) terjadinya salah satu pihak yang melakukan perbuatan zina (fakhisyah), yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya.
3. Putusnya Perkawinan Menurut UU Perkawinan
Masalah putusnya perkawinan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 termuat di dalam BAB 8 Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Tata cara perceraian diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, dan hal-hal teknis lainnya di dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975. Ketentuan UU Perkawinan Pasal 38 menyebutkan bahwa suatu perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu kematian salah satu pihak, perceraian, dan atas putusan hakim. Selanjutnya di dalam Pasal 39 angka (1), (2) dan (3), disebutkan juga mengenai perceraian yang hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan (majelis hakim) tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, serta cukup alasan bagi mereka untuk bercerai karena tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun di dalam suatu rumah tangga.
Gugatan perceraian dapat diajukan oleh pihak suami atau pihak isteri dengan alsan yang telah ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai alasan-alasan terjadinya perceraian, ketentuan di dalam Pasal 39 angka (2) UU Perkawinan juncto Pasal 19 huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyebutkan bahwa salah satu hal yang dapat dijadikan alasan di dalam perceraian yaitu salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, pemadat dan lain sebagainya yang susah untuk disembuhkan.
4. Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut Hukum Adat, tujuan perkawinan yaitu untuk melanjutkan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, pada umumnya masyarakat menginginkan perkawinan tersebut bertahan selama-lamanya. Akan tetapi bisa saja timbul suatu keadaan di mana suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan keutuhannya. Menurut Hukum Adat, putusnya perkawinan dapat terjadi karena adanya kematian dan perceraian.
Perceraian dalam perkawinan ini dapat ditimbulkan oleh berbagai alasan. Alasan-alasan yang dapat diterima oleh hukum adat yang dapat mengakibatkan perceraian, antara lain :
(a) isteri melakukan zina.
(b) isteri tidak dapat memiliki anak (tidak dapat memberikan keturunan).
(c) suami tidak dapat memenuhi kehidupan sebagai suami.
(d) suami meninggalkan isteri di dalam waktu yang lama.
(e) adanya kematian dan permufakatan antara suami isteri.
Alasan ini pada umumnya lebih bersifat perorangan, ada juga perceraian yang dituntut oleh masyarakat demi kepentingan masyarakat. Contohnya di Kalimantan, terdapat perceraian perkawinan yang dituntut demi kepentingan masyarakat; yaitu dari sudut sihir (magic) yang berasal dari mimpi-mimpi yang buruk. Selain itu di dalam hukum adat mengenai perceraian juga diatur oleh agama-agama yang dianut masyarakat.
Selain alasan-alasan tersebut di atas, putusnya perkawinan karena perceraian juga dipengaruhi oleh hukum islam dan hukum kristen. Contohnya, talak suami, kuluk isteri, ta'liq istri, dan pasah sebagai pengaruh hukum islam; dan karena overspel, suami atau isteri berniat jahat, penganiayaan dan tidak berketurunan sebagai pengaruh hukum kristen.
Sekian tulisan dari tabir hukum mengenai putusnya perkawinan dalam hukum, semoga tulisan tabir hukum mengenai putusnya perkawinan dalam hukum dapat bermanfaat.
Sumber : Tulisan Tabir Hukum :
- Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar Hukum Perdata. Yang Menerbitkan Prestasi Pustaka : Jakarta.