Kumpulan Informasi Hukum

Batalnya Perkawinan dan Pengajuan Gugatannya

Hai Pembaca Setia, Kali ini Tabir Hukum akan membahas mengenai batalnya perkawinan dan siapa-siap saja yang berhak mengajukan gugatannya.


1. Dapat Dibatalkannya Perkawinan

Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan), jika perkawinan tersebut tidak dapat memenuhi syarat-syarat sesudah diajukannya ke pengadilan. Di dalam Pasal 85 KUH Perdata berlaku asas pokok, bahwa tidak ada suatu perkawinan menjadi batal karena hukum. Pernyataan batalnya suatu perkawinan yang bertentangan dengan UU diisyaratkan adanya keputusan pengadilan; keputusan yang demikian hanya boleh dijatuhkan di dalam hal-hal yang diatur oleh UU dan atas gugatan dari orang-orang yang dinyatakan berwenang dalam hal tersebut.

Menurut Hukum Islam, suatu perkawinan dapat batal (fasid). Suatu akad nikah dikatakan sah, jika di dalam akad nikat tersebut telah dipenuhi segala rukun dan syaratnya. Jika suatu akad nikah kurang salah satu atau beberapa rukun atau syarat-syaratnya, maka disebut sebagai akad niah yang tidak sah.

Jika tidak sahnya suatu akad nikah terjadi karena tidak dipenuhinya salah satu di antara rukun-rukunnya, maka akad nikah tersebut itu batal. Jika di dalam akad nikah tersebut salah satu saja di antara syarat-syarat itu tidak dipenuhi, maka akad nikah itu adalah fasid.

Pasal 22 UU Perkawinan menentukan bahwa perkawinan dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hukum islam dikenal berbagai larangan perkawinan (nikah) yang tidak boleh dilanggar, antara lain :
1. Adanya hubungan keluarga yang dekat.
2. Derajat dari calon suami yaitu lebih rendah dari calon isteri.
3. Seorang wanita nikah lagi di dalam masa tunggu.
4. Seorang wanita yang masih di dalam keadaan kawin, kawin lagi dengan pria lain.
5. Seorang suami yang beristrikan empat orang, ia kawin lagi dengan isteri yang kelima.

Jika larangan tersebut dilanggar, maka perkawinan dapat menjadi batal atau dapat dibatalkan (difasidkan).



2. Alasan Untuk Menuntut Batalnya Perkawinan dan Orang-Orang yang Berhak Menuntut Batalnya Perkawinan

UU menentukan alasan-alasan untuk menuntut batalnya perkawinan, antara lain : (1) adanya perkawinan rangkat; (2) tidak adanya kata sepakat oleh pihak-pihak atau salah satu pihak; (3) adanya kecakapan untuk memberikan kesepakatan; (4) belum mencapai usia untuk melangsungkan perkawinan; (5) keluarga sedarah atau semenda; (6) perkawinan antara mereka yang melakukan overspel; (7) perkawinan ketiga kalinya antara orang yang sama; (8) tidak adanya ijin yang diisyaratkan; (9) ketidakwenangan pejabat catatan sipil; dan (10) perkawinan dilangsungkan meski ada pencegahan.

a. Adanya perkawinan rangkap
Jika perkawinan terdahulu itu dibubarkan karena suatu sebab, maka harus diputuskan terlebih dahulum. Karena sebelum adanya putusan mengenai pembatalan perkawinan pertama, dan sudah dilakukan lagi perkawinan yang kedua, maka perkawinan yang terakhir ini (perkawinan rangkap) dapat dinyatakan batal. Pembatalan adanya perkawinan rangkap dapat dimintakan oleh : (1) orang tua; (2) semua anggota keluarga sedarah di dalam garis lurus ke atas; (3) saudara-saudaranya; (4) curatornya; dan (5) kejaksaan.

b. Tidak adanya kata sepakat dari pihak-pihak (salah satu pihak)
Menurut ketentuan Pasal 28 KUH Perdata, kebebasan untuk memberikan kesepakatan merupakan hakikat dari perkawinan. Jika hal ini tidak ada, contohnya karena salah satu pihak dalam keadaan gila, mabuk, adanya paksaan atau karena adanya kekhilafan; maka menurut ketentuan di dalam Pasal 87 KUH Perdata, keabsahan dari perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Yang berhak untuk menuntut kebatalan yaitu suami isteri atau salah satu dari mereka yang tidak memberikan kata sepakatnya secara bebas.

c. Tidak adanya kecakapan untuk memberikan kesepakatan
Pembentuk UU menganggap bahwa setiap orang yang cacat akal budinya selalu diletakkan di bawah pengampu. Perkawinan seseorang yang gila, namun tidak diletakkan di bawah pengampuan dapat dinyatakan batal berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 87 KUH Perdata. Pembatalan perkawinannya dapat dimintakan oleh : (1) orang tua; (2) semua anggota keluarga sedarah di dalam garis lurus ke atas; (3) saudara-saudaranya; (4) curatornya; dan (5) kejaksaan.

d. Belum mencapai usia untuk kawin
Batas usia untuk melangsungkan perkawinan ada dua, yaitu menurut KUH Perdata menentukan usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun; sedangkan menurut UU Perkawinan batas usia untuk kawin yaitu pria 19 dan wanita 16 tahun. Dalam hal ini yang berhak untuk menuntu pembatalan perkawinan yaitu suami isteri yang belum usia kawin dari kejaksaan. Gugatan ini tidak dapat diajukan lagi jika : (1) pada hari gugatan usia yang diisyaratkan telah dipenuhi; dan (2) wanita yang bersangkutan, meskipun usianya masih muda sebelum hari diajukannya gugatan, dalam keadaan hamil (Pasal 89 KUH Perdata).

e. Keluarga sedarah atau semenda
Perkawinan dilarang bagi mereka yang mempunyai hubungan darah. Menurut Pasal 8 UU Perkawinan, perkawinan dilarang bagi mereka dengan alasan : (1) ada hubungan darah di dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas; (2) ada hubungan darah di dalam garis keturunan menyamping; dan (3) ada hubungan darah semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri. Sedangkan di dalam KUH Perdata, hal ini dimuat di dalam ketentuan Pasal 90 jis 30 dan 31. Adapun yang berhak untuk menuntut pembatalan perkawinan yaitu suami atau isteri itu sendiri, orang tua mereka, sanak keluarga di dalam garis lurus ke atas, mereka yang memiliki kepentingan dan kejaksaan.

f. Perkawinan antara mereka yang melakukan Overspel
Pengertian Overspel adalah melakukan hubungan suami isteri yang dilakukan oleh seseorang laki-laki dan perempuan yang tidak menikah atau belum, tetapi tidak diikat oleh perkawinan yang dilakukan suka sama suka, tanpa adanya paksaan. Menurut ketentuan pasal 32 KUH Perdata, mereka yang melakukan overspel berdasarkan putusan hakim, dilarang untuk mengadakan perkawinan. Yang berhak untuk menuntut pembatalan perkawinan yaitu suami atau isteri itu sendiri, orang tua mereka, sanak keluarga di dalam garis ke atas, mereka yang memiliki kepentingan dan kejaksaan.

g. Perkawinan ketiga kalinya antara orang yang sama
KUH Perdata pada dasarnya melarang seseorang yang melakukan perkawinan ketiga kalinya pada orang yang sama atau setelah perceraian atau telah bubar setelah adanya pisah meja dan tempat tidur sebelum jangka waktu 1 tahun terlampaui. Menurut ketentuan di dalam Pasal 33 KUH Perdata, perkawinan antara orang yang sama setelah kedua kalinya adalah terlarang. Dalam hal ini yang berhak untk menuntu pembatalan perkawinan yaitu suami atau isteri itu sendiri, orang tua mereka, sanak keluarga di dalam garis lurus ke atas, mereka yang memiliki kepentingan dan kejaksaan.

h. Tidak ada ijin yang diisyaratkan
Berdasarkan ketentuan dari Pasal 35,36, 452 angka (2) KUH Perdata, pihak ketiga yang berhak untuk memberikan ijin perkawinan yaitu orang a, kakek dan nenek, atau wali. Perkawinan yang dilakukan tanpa ijin dari pihak-pihak tersebut menurut ketentuan Pasal 91 KUH Perdata dinyatakan batal demi hukum. Pembatalan perkawinan ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berhak memberikan ijin. Adapun batalnya perkawinan tidak dapat dituntut lagi, jika ada pihak yang berhak memberikan ijin kawin dengan tegas atau dengan diam-diam telah menyetujui perkawinan tersebut.

i. Ketidakwenangan pejabat catatan sipil
Perkawinan dapat dibatalkan jika pejabat catatan sipil tidak berwenang, jumlah saksi tidak cukup atau saksinya tidak memenuhi persyaratan (Dalam Pasal 92 KUH Perdata). Pihak-pihak yang berhak untuk mengajukan tuntutan pembatalan perkawinan ini ialah suami isteri itu sendiri, orang tua mereka, sanak keluarga di dalam garis lurus ke atas, wali pengawas, mereka yang memiliki kepentingan dan kejaksaan. Akan tetapi pelanggaran mengenai saksi-saksi yang tidak memenuhi persyaratan, tidak secara mutlak mengakibatkan pembatalan perkawinan. Pernyataan batal atau tidaknya suatu perkawinan diserahkan kepada kebijakan hakim (Dalam Pasal 76 KUH Perdata).

j. Perkawinan dilangsungkan meskipun ada pencegahan
Jika perkara mengenai pencegahan perkawinan telah diajukan, maka perkara tersebut dapat dilanjutkan. JIka tuntutan untuk mencegah perkawinan tersebut dikabulkan, maka perkawinan tersebut dapat dinyatakan batal. Sebaliknya, jika perkara pencegahan belum diajukan, maka orang yang berhak mencegah perkawinan harus mengajukan gugatannya. Hanya dengan alasan-alasan tersebut, maka perkawinan dapat dinyatakan batal oleh hakim.


Sekian tulisan dari tabir hukum mengenai batalnya perkawinan dan siapa-siap saja yang berhak mengajukan gugatannya, semoga tulisan tabir hukum mengenai batalnya perkawinan dan siapa-siap saja yang berhak mengajukan gugatannya dapat bermanfaat.

Sumber : Tulisan Tabir Hukum :

- Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar Hukum Perdata. Yang Menerbitkan Prestasi Pustaka : Jakarta.
Artikel Batalnya Perkawinan dan Pengajuan Gugatannya
Gambar Artikel Batalnya Perkawinan dan Pengajuan Gugatannya