Kumpulan Informasi Hukum

Pengertian Perjanjian Perkawinan, Isi dan Bentuknya

Hai Pembaca Setia, Kali ini Tabir Hukum akan membahas mengenai pengertian perjanjian perkawinan, isi perjanjian perkawinan dan bentuk-bentuk perjanjian perkawinan.


Pengertian Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dan calon isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan (diadakan), untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda mereka.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai pelaksana dari UU Perkawinan tidak mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Untuk itu melalui Petunjuk dari Mahkamah Agung Republik Indonesia No. MA/0807/75 memberikan pendapatnya untuk memperlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya, sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata bagi yang menundukkan peraturan tersebut. Hukum adat bagi golongan Bumi Putera dan Huwelijke Orddonnantie Christen Indonesiers (Stb. 1933 No. 74) bagi golongan Bumi Putera yang beragama kristen.

Menurut Sistem KUH Perdata, harta kekayaan bersama yang menyeluruh (algehele gemeenschap van goederen) adalah akibat yang normal dari suatu perkawinan. Pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta yang menyeluruh hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian perkawinan.

Pada Umumnya suatu Perjanjian Perkawinan dibuat dengan alasan, sebagai berikut :
1. Jika terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pihak yang lainnya.
2. Kedua belah pihak dapat masing-masing membawa masukan yang cukup besar.
3. Masing-masing dari mereka memiliki usaha sendiri-sendiri; sehingga jika salah satu jatuh, maka yang lainnya tidak tersangkut.
4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum pernikahan, masing-masing akan bertanggunggugat secara sendiri-sendiri.


Maksud dari Pembuatan Perjanjian Perkawinan yaitu untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan mengenai harta kekyaan bersama (Dalam Pasal 119 KUH Perdata). Dengan itu para pihak bebas untuk menentukan bentuk hukum yang dikehendakinya terhadap harta kekayaan yang menjadi objeknya.

UU Perkawinan memposisikan ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan di dalam Pasal 29 KUH PErdata, yang pada intinya bahwa suatu perjanjian perkawinan diperbolehkan jika tidak bertentangan dengan agama, hukum dan kesusilaan. Akan tetapi di dalam pasal tersebut tidak diatur mengenai materi dari perjanjian perkawinan seperti diatur di dalam KUH Perdata.



ISI PERJANJIAN PERKAWINAN

Mengenai isi perjanjian perkawinan ini dalam UU Perkawinan tidak dibahas, namun yang ada bahwa perkawinan tidak boleh bertentangan dengan agama, hukum dan kesusilaan. Dengan demikian, mengenai isi perjanjian perkawinan diserahkan kepada pejabat-pejabat umum yang memiliki wewenang untuk memberikan penafsirannya.

Dalam KUH Perdata terkandung asa-asas, yang menyatakan bahwa kedua belah pihak ini bebas di dalam menentukan isi perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Pasal 139 KUH Perdata menetapkan bahwa di dalam perjanjian perkawinan tersebut, kedua calon suami isteri ini dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan di dalam harta bersama; penyimpangan-penyimpangan ini bisa saja terjadi, jika tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum dengan tidak mengenyimpangkan juga isi ketentuan dari Pasal 139 KUH Perdata.

Asas kebebasan kedua belah pihak di dalam menentukan isi perjanjian perkawinan ini dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Tidak membuat janji-janji yang bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Perjanjian perkawinan ini tidak boleh mengurangi hak-hak karena kekuasaan suami, hak-hak karena kekuasaan orang tua, hak-hak suami dan isteri yang hidup terlama.
3. Tidak dibuatnya janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas peninggalan.
4. Tidak dibuat janji-janji mengenai harta perkawinan yang akan diatur oleh UU negara Asing.




BENTUK BENTUK PERNJANJIAN PERKAWINAN

Perjanjian Perkawinan menurut KUH Perdata harus dibuat dengan akta notaris (Dalam Pasal 147). Hal ini dapat dilakukan, kecuali untuk keasbsahan perjajian perkawinan yang juga bertujuan untuk :
1. Untuk mencegah dari perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat dari perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup.
2. Untuk didapatnya kepastian hukum.
3. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah.
4. Untuk mencegah kemungkinan terdapatnya penyelundupan atas ketentuan di dalam Pasal 149 KUH Perdata.

Selain dengan kata notaries, perjanjian perkawinan harus dilakukan sebelum perkawinan (Dalam Pasal 147); karena setelah perkawinan berlangsung dengan cara apapun juga, perjanjian perkawinan itu tidak dapat diubah (Dalam Pasal 149 KUH Perdata). Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, Asas tidak dapat diubahnya perjanjian perkawinan ini adalah sistem harta benda perkawinan yang dipilih oleh suami isteri pada saat berlangsungnya perkawinan yang menyandarkan pada pokoknya akan kekhawatiran, bahwa semasa perkawinan sang suami dapat memaksa isterinya untuk mengadakan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan si isteri.

Sekian tulisan dari tabir hukum mengenai pengertian perjanjian perkawinan, isi perjanjian perkawinan dan bentuk bentuk perkawinan, semoga tulisan tabir hukum mengenai pengertian perjanjian perkawinan, isi perjanjian perkawinan dan bentuk bentuk perkawinan dapat bermanfaat.

Sumber : Tulisan Tabir Hukum :

- Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar Hukum Perdata. Yang Menerbitkan Prestasi Pustaka : Jakarta.
Artikel Pengertian Perjanjian Perkawinan, Isi Perjanjian Perkawinan dan Bentuk Perkawinan
Gambar Artikel Pengertian Perjanjian Perkawinan,
Isi Perjanjian Perkawinan dan Bentuk Perkawinan