Kumpulan Informasi Hukum

Isi Perjanjian dan Hapusnya Perjanjian

Hai Pembaca Setia, Kali ini Tabir Hukum akan membahas mengenai isi perjanjian dan hapusnya perjanjian.


1. ISI PERJANJIAN

Isi perjanjian pada dasarnya yaitu ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperjanjian oleh pihak-pihak. Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat ini berisi hak dan kewajiban yang harus mereka penuhi.

Menurut Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata, elemen-elemen dari suatu perjanjian meliputi : (a) isi perjanjian itu sendiri; (b) kepatutan; (c) kebiasaan; dan (d) undang-undang. Akan tetapi di dalam praktek peradilan menurut Mariam Darul Badrulzaman yang diambil dari Pasal 3 Algemene Bepalingen (AB), menentukan bahwa kebiasaan hanya diakui sebagai sumber hukum, jika ditunjuk oleh UU. Dengan demikian peradilan menempatkan Undang-undang di atas kebiasaan, sehingga is perjanjian menjadi : (a) hal yang tegas yang diperjanjikan; (b) undang-undang; (c) kebiasaan; dan (d) kepatutan.

a. Hal yang tegas yang diperjanjikan
Menurut Pasal 1339 KUH Perdata, yang dimaksud dengan isi perjanjian yaitu apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak mengenai hak dan kewajiban mereka di dalam perjanjian tersebut baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Tidak semua perjanjian harus dinyatakan secara tegas, jika menurut kebiasaan selamanya dianggap diperjanjikan (Pasal 1347 KUH Perdata). Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, para pihak pada dasarnya mengakui syarat-syarat demikian itu, karena memberi akibat komersial terhadap maksud para pihak. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa syarat atau kewajiban yang dinyatakan tidak tegas di dalam perjanjian hanya timbul di dalam keadaan tidak ada ketentuan yang tegas mengenai persoalan tersebut.

b. Undang-Undang
Sesuai dengan Pasal 1338 angka (1) KUH Perdata, bahwa semua persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka pembentuk Undang-undang menunjukkan bahwa perbuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah yaitu mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Di sini tersimpul realisasi asas kepastian hukum.

c. Kebiasaan
Pasal 1339 KUH Perdata menyatakan bahwa "persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, akan tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang". Kebiasaan yang dimaksud di dalam ketentuan di atas yaitu kebiasaan pada umumnya (gewoonte), yaitu kebiasaan setempat atas kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu (bestending gebruikelijkbeding).

d. Kepatutan
Pada dasarnya kepatutan ini merujuk pada ukuran mengenai hubungan rasa keadilan di dalam masyarakat. Falsafah negara Pancasila - menampilkan ajaran bahwa harus ada keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara penggunaan hak asasi dengan kewajiban asasi. Dengan kata lain di dalam kebebasan terkandung tanggung jawab. Selanjutnya berdasarkan Tap MPR No. II/MPR/1978 menyatakan bahwa : "Manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai Makhluk Tuhan yang sama derajatnya, hak dan kewajiban asasinya, tidak membedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, gender, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya". Oleh karena itu dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa 'tepo seliro', serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

Soepomo telah memberikan sumbangan yang sangat besar di dalam hal meletakkan dasar terhadap hubungan individu dan masyarakat di Indonesia yang membedakan dengan dunia Barat. Pertama, di Indonesia - yang primer yaitu masyarakat. Individu terikat di dalam masyarakat, hukum bertujuan untuk mencapai kepentingan individu yang selaras, serasi dan seimbang dengan kepentngan masyarakat. Kedua, di Barat - yang primer yaitu individu. Individu terlepas dari masyarakat, hukum bertujuan untuk mencapai kepentingan individu.



2. HAPUSNYA PERJANJIAN

Hapusnya perjanjian berbeda dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Contohnya, pada persetujuan jual beli - dengan dibayarnya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Hanya jika semua perikatan-perikatan daripada persetujuan telah hapus seluruhnya, maka persetujuannya juga akan berakhir.

Suatu perjanjian akan berakhir (hapus), jika :
a. Telah lampau waktunya (kadaluwarsa) - Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Contohnya, menurut Pasal 1066 angka (3), bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu persetujuan tersebut menurut angka (4) dibatasi berlakunya hanya lima tahun. Artinya, lewat dari waktu tersebut mereka dapat melakukan perbuatan hukum tersebut.
b. Telah tercapai tujuannya.
c. Dinyatakan berhenti - para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. Contohnya, jika salah satu meninggal perjanjian akan hapus, seperti perjanjian perseroan (Pasal 1646 angka (4) KUH Perdata).
d. Dicabut kembali
e. Diputuskan oleh Hakim.

Sekian tulisan dari tabir hukum mengenai isi perjanjian dan hapusnya perjanjian, semoga tulisan tabir hukum mengenai isi perjanjian dan hapusnya perjanjian dapat bermanfaat.

Sumber : Tulisan Tabir Hukum :

- Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar Hukum Perdata. Yang Menerbitkan Prestasi Pustaka : Jakarta.
Isi Perjanjian dan Hapusnya Perjanjian
Gambar Isi Perjanjian dan Hapusnya Perjanjian