Hai Pembaca Setia, Kali ini Tabir Hukum akan membahas mengenai definisi psikologi forensik dan fungsi psikologi forensik.
Menurut Meliala, Psikologi Forensik merupakan istilah yang dapat memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di Indonesia juga menyapakati bahwa istilah psikologi forensik dengan membentuk komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama APSIFOR (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia).
Pengertian Psikologi Forensik adalah psikologi yang mengaplikasikan ilmunya untuk membantu penyelesaian masalah hukum. Di Indonesia, profesi psikologi forensik masih kurang dikenal, baik di kalangan psikolog maupun aparat hukum. Tugas psikologi forensik pada proses peradilan pidana yaitu membantu pada saat pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun ketika terpidana berada di lembaga pemasyarakatan. Gerak psikolog di dalam peradilan terbatas dibanding dengan ahli hukum. Psikolog dapat masuk di dalam peradilan sebagai saksi ahli sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP.
Oleh karena itu diperlukan promosi pada bidang hukum akan pentingnya psikologi di dalam permasalahan hukum, sehingga di dalam kasus-kasus pidana, ahli hukum mengundang psikologi. Tanpa undangan aparat hukum, psikologi akan tetap berada di luar sistem dan kebanyakan menjadi ilmuwan, bukan sebagai praktisi psikologi forensik.
Individu yang berkecimpung pada psikologi forensik dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Ilmuwan psikologi forensi, tugasnya melakukan kajian atau penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia di dalam proses hukum.
2. Praktisi psikolog forensik, tugasnya memberikan bantuan profesional berkaitan dengan permasalahan hukum.
Inti kompetensi psikolog yaitu asesmen, intervensi dan prevensi. Hal yang membedakan psikolog forensik dengan psikolog lainnya yaitu konteks tempat ia bekerja. Berikut ini akan dipaparkan mengenai beberapa tugas psikolog forensik di setiap tahap proses peradilan pidana, antara lain sebagai berikut.
1. Interogasi Kepolisian Pada Pelaku
Interogasi dilakukan bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya. Teknik lama yang digunakan polisi yaitu dengan melakukan kekerasan fisik. Teknik ini banyak mendapatkan kecaman karena orang yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan oleh kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interogasi dengan menggunakan teori psikologi dapat digunakan, contohnya dengan teknik maksimalisasi dan minimalisasi. Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi mengenai teknik interogasi yang menggunakan prinsip psikologi.
Criminal profiling dapat disusun dengan bantuan teori psikologi. Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak perilaku dengan menyusun profil kriminal pelaku. Contohnya pada kasus teroris, yang berguna di dalam langkah penyidikan di kepolisian maupun masukan bagi hakim (contoh : apakah tepat terotis dihukum mati atau hanya seumur hidup).
Psikolog forensik juga dapat membatu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan gambaran mengenai kondisi mental pelaku.
2. Pada Korban
Beberapa kasus dengan trauma berat menolak untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Untuk itu, psikolog forensik dapat membantu polisi di dalam melakukan penggalian informasi terhadap korban, contohnya pada anak-anak atau wanita korban kekerasan. Penggalian korban perkosaan pada anak yang masih sangat belia dapat digunakan alat bantu boneka.
Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi. Pada kasus di Malang ketika seorang ibu membunuh empat anaknya dan ia bunuh diri. Seorang psikolog dapat menyusun otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung, yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi yaitu untuk merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran dan gaya hidup almarhum. Otopsi psikologi akan membantu polisi di dalam menyimpulkan kemungkinan korban dibunuh atau bunuh diri.
3. Pada Saksi
Proses peradilan pidana bergantung pada hasil investigasi terhadap saksi, karena baik polisi, jaksa maupun hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian menemukan hakim dan juri di Amerikan menaruh kepercayaan 90% terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias. DIperlukan teknik investigasi saksi yang tepat, antara lain, teknik hipnosis dan wawancara kognitif.
Teknik hipnosis digunakan jika informasi mengenai suatu kejadian tidak mengalami kemajuan berarti atau pada saksi atau korban yang emosional (malu, marah) yang menghilangkan memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya kembali. Adapun wawancara kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman pada tahun 1992. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan proses retrieval yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi atau korban merasa relaks dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25 sampai 35 persen lebih banyak dan lebih akurat dibandingkan dengan teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan pelatihan teknik invenstigasi saksi pada polisi.
4. Pengadilan
Peran psikolog forensik di dalam peradilan pidana di pengadilan yaitu sebagai saksi ahli bagi korban (contohnya kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anak, seperti perkosaan dan penculikan anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis (contohnya mental retarded, pedophilia dan psikopat).
Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara di dalam memberikan masukan terkait dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan ditampilkan terdakwa agar ia tidak mendapat hukum berat.
5. Lembaga Pemasyarakatan
Psikolog sangat dibutuhkan di Lapas, contohnya pada kasus percobaan bunuh diri, yang para narapidananya tidak tertangani secara baik karena tidak setiap lapas memiliki psikolog. Selain itu, pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka sering memberikan hukuman dengan tujuan mengurangi perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi, berbohongi). Disini psikolog forensik dibutuhkan di dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana.
Untuk menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog harus menguasai pengetahuan psikolog dan hukum, serta memiliki keterampilan sebagai psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibandingkan psikolog umum. Contohnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal, sedangkan di kepolisian dibutuhkan asesmen yang khusus pada individu pelaku kriminal.
Sekian tulisan dari tabir hukum mengenai definisi psikologi forensik dan fungsi psikologi forensik, tulisan tabir hukum mengenai definisi psikologi forensik dan fungsi psikologi forensik dapat bermanfaat.
Sumber : Tulisan Tabir Hukum :
- Wawan Muhwan H, 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Yang menerbitkan Pustaka Setia : Bandung.
Gambar Artikel Definisi Psikologi Forensik dan Fungsi Psikologi Forensik |